Thursday, July 16, 2009

Berhentilah Menjadi Gelas!

Seorang guru mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung.

“Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?” sang Guru bertanya.

“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya,” jawab sang murid muda.

Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.”

Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.”

Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.

“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.

“Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.

“Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.”

Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya.

“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.

Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya
kepadanya, “Bagaimana rasanya?”

“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.

“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”

“Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.

“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”

Si murid terdiam, mendengarkan.

“Tapi Nak, rasa `asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya ‘qalbu’(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau.”

(From : Suluk – Blogsome)

Monday, July 6, 2009

A Robbers Advice

IMAM GHAZALI’S (R.A.) EXPERIENCE

That is why the experience of Imam Ghazali (r.a.) is a valuable lesson. Ayuhatullab! Listen carefully!

Having completed his studies, Imam Ghazali (r.a.) was en route back home. On the way the caravan in which he was travelling was waylaid by robbers. Together with his co-travellers, Imam Ghazali (r.a.) was dispossessed of all his goods. Amongst his possessions were the carefully written notes of the lectures delivered by his ustads. These notes were also taken by the robbers. Imam Ghazali (r.a.) sought out the leader of the band of robbers and pleaded with him: “Your men have taken all my possessions except for the clothes I wear. You may keep the extra clothes and other valuables - I do not lament their loss. However, please ask your men to return the papers they have taken.”

The leader of the band of robbers was amazed at this unusual request. This young man was not worried about clothes and valuables, but he was asking for some pieces of paper to be returned!

Very curious, he asked: “What papers are these?”

Imam Ghazali (r.a.) explained: “I am a student returning home after completing my studies. When my teachers used to lecture, I used to make notes. These are those very pages of ‘ilm that I am requesting to be returned to me.”

The leader of the robbers said, “What you have just said fills me with great sorrow and regret. Young lad! Is your ‘ilm on pieces of paper when it should have been in your heart? Papers can get lost. Papers can be destroyed by fire, become parched by the sun, get eaten by moths, become damaged with damp, etc., etc. You are dependent on papers? It fills me with great pity. Your ‘ilm should be in your heart! Be that as it may, your papers will be returned.”

He summoned one of his men and ordered him, “Give back to this boy his papers.” The notes were retrieved and returned to Imam Ghazali (r.a.).

Imam Ghazali (r.a.) was of noble character. He was, moreover, a dedicated student. The words of the gang-leader were like a knife piercing his heart. On reaching home, he lost no time in memorising all his notes!